Rabu, 24 Agustus 2011

4 Level Pembelajaran

oleh Yun Sirno pada 29 Juli 2011 jam 7:12
                “Sudah baca Mylien, belum?”
                “Apa yang dikatakan Hermawan Kertajaya tentang ini?”
                “Google tidak ngomong lagi tentang brand, tapi platform ...”
                Wah senang rasanya mendengar dialog tim manajemen Sang Bintang School (SBS) seperti di atas. Tim manajemen sudah menemukan flow –nya ketika membahas masalah di lapangan. Mereka sudah punya rujukan ketika mentok pada suatu kasus di lapangan. Dan ketika tak ada rujukan, mereka mencoba mengakomodirnya dengan membuat pendekatan dengan teori lain.

Dari BSC sampai Blue Ocean Strategy
                Senang rasanya, mereka sudah menyebut nama guru marketing Asia, Hermawan Kertajaya dalam dialog atau diskusi tentang kasus-kasus di lapangan. Apalagi mereka juga selalu merujuk pada buku yang ia tulis: Marketing 3.0, Grow the Character.
                Senang juga rasanya melihat anggota tim SBS bergantian membaca buku-buku Rhenald Kasali yang memang best seller seperti Recoding Your Change DNA, Powehouse, sampai Cracking Zone. Mereka juga mulai merasa penting dan bergairah ketika membaca majalah Swa, Marketing atau tabloid Kontan. Situs-situsnya pun mulai disambangi.
                Memang saat dites, kebanyakan mereka belum terlalu memahami teori-teori manajemen mutakhir seperti BSC (Balanced Scorecard), Six Sigma, TQM, atau Blue Ocean Strategy. Tapi antusiasme yang mulai tumbuh adalah tanda bahwa waktunya sudah dekat. Diskusi-diskusi kami jadi sangat berisi. Solusi-solusi yang lahir menjadi sangat global, dan ide-ide yang keluar pun sudah didukung  teori-teorinya.


Tak Cukup “Mengetahui”
                Tapi saya gak bisa terlalu senang karena “mengetahui” baru langkah pertama dari 4 langkah pembelajaran. Pembelajaran tak boleh hanya membuat orang “mengetahui”. Apa gunanya “mengetahui” jika nggak bisa dipakai? Apa gunanya setumpuk teori tapi tidak memberi nilai guna. Inilah kegelisahan Prof. Muhammad Yunus, guru besar ekonomi di Universitas Bangladesh, ketika ia mengetahui bahwa ilmu nya yang luar biasa tidak berpengaruh apa-apa terhadap kondisi negerinya. Ia merasa sia-sia saja dengan ilmu ekonomi kelas satu yang ia gali dari Amerika, tapi ternyata Bangladesh tetap menjadi salah satu negara termiskin di Asia.
                Lalu apa yang kedua?  Setelah “mengetahui” kita harus “bisa”. Setelah murid Anda tahu macam-macam tenses, Anda tak boleh senang dulu. Kita harus membuat mereka “bisa” memakainya di dunia nyata. Mereka harus “bisa” bicara, dan menuliskan gagasannya. Maka itu pula yang dilakukan sang profesor. Ia merasa harus  mengubah sekedar “mengetahui”nya menjadi “bisa” membuat rakyat kaya.
                Maka ia pun turun gunung dengan mengajari rakyat “ilmu ekonomi” riel dan membuat mereka bisa mengolah sumber daya yang dimilikinya.
                Tapi cukupkah “bisa” itu? Ternyata tidak. Banyak murid “bisa” mengerjakan soal, dan bisa menjawab pertanyaan gurunya seketika itu. Tapi selepas dari SBS, bisa jadi banyak siswa yang melupakannya. Kenapa? Apakah otak mereka tak cukup kuat untuk merekamnya? Atau apakah sang instruktur mengajari tanpa kesan?
Oleh karena itu, saya tak cukup dengan menginstruksikan instruktur untuk membuat siswa "bisa" dalam 6 minggu, tapi mareka harus dapat lebih dari itu. Kita tak cukup hanya membuat orang “bisa” tapi mereka harus mencapai tahap ketiga, yaitu “terampil”.
                Apa itu “terampil”? Yaitu kondisi dimana kita bisa mengulang lagi ketrampilan yang kita miliki dengan segera dan dengan mudah. Seperti apa “terampil” itu? Seperti dengan mudahnya para montir membongkar dan memasang lagi motor-motor rusak kita. Seperti dengan sigapnya para polisi mengejar maling. Dan juga seperti dengan sigapnya para pencopet mengambil dompet kita. Mereka bukan sekedar “bisa” tapi sudah pada posisi “terampil”.

Terampil sampai 2000 Cabang
               Maka jangan kaget ketika mengajari orang membangun kemampuan finasialnya dengan mendirikan Grameen Bank sekitar 30 tahun yang lalu, butuh waktu lama bagi sang profesor, namun lama kelamaan, ia merasakan hal itu menjadi sangat mudah. Ia sudah terampil mendidik dan mengangkat kaum miskin lewat pemberdayaan sosialnya. Saking terampilnya, dalam waktu sekitar 20 tahun ia mudah saja mendirikan tak kurang 2000 cabang Grameen di seluruh Bangladesh.
               “Terampil” itu juga yang harus menjadi target kita kepada siswa. Siswa harus terus dilatih ke”bisa”annya agar tahap “terampil” mereka capai. Jangan pernah puas saat mereka “bisa” menjawab dan “bisa” mengisi tes. Tapi ulang lagi, dan ulang lagi. Sampai level “terampil” sudah mereka sandang. Dan jika level “mengetahui” butuh waktu, level “bisa” juga butuh waktu. Apalagi level “terampil”. Tentu butuh waktu yang tidak sedikit. Jika untuk “mengetahui” dan “bisa” membutuhkan waktu 6 minggu dan Master Class, tak adil jika kita tidak mengangkat mereka untuk “terampil”.
Inilah asal mula lahirnya program Genius Community. Ayo latih terus kemampuan bahasa Inggris yang sudah Anda miliki dengan berlatih lewat pembuatan slide. Tuangkan ide-ide segar Anda lewat kalimat-kalimat bahasa Inggris Anda. Sajikan lewat skill komunikasi Anda di depan teman-teman Anda. Jangan malu dan ragu, jangan takut dikejar waktu. Kita sudah berubah menjadi pembelajar sejati yang menikmati proses belajar kita, yang menikmati pencapaian kita. Selamat datang wahai jenius, Welcome to Genius Community.

NB:
Contact information: Ima 082127040909,  Ali 08789990731, dan Ridho 089693706016

Tidak ada komentar: