Selasa, 11 Oktober 2011

Erik: Sang Traveller, Aktivis, Businessman dan Pembelajar Sejati

 
 oleh Yun Sirno pada 11 Oktober 2011 jam 22:09

“Saya sering bertanya dalam hati. Mengapa dengan pekerjaan yang sedemikian padat ini, setiap orang kelihatan enjoy? Jawabannya adalah karena kami menikmati pekerjaan.” Erik Marangga


Itulah komentar sahabat, adik, sekaligus tim kerjaku di Sang Bintang School (SBS) ini saat Ramadhan 2010 ia berkesempatan belajar langsung sekitar satu bulan tentang lembaga kami di kota Pontianak. Bagiku Erik, alumni UIN Malang kelahiran Nusa Tenggara Barat bukan sekedar instruktur dan sekarang manajer (regional), ia seorang yang istimewa. Selain Fahrurrazi, ia  adalah anggota tim SBS dengan level tertinggi. Dalam sistem kami, ada mekanisme bintang. Dan Erik telah dianugerahi dua bintang karena kelebihannya.

6 Minggu Bisa! Cukup di Pontianak Aja Yah…
                Sebelum mengenal Erik, saya dan Fahrurrazi di Pontianak berkeyakinan bahwa program bahasa Inggris 6 Minggu Bisa! sulit untuk diimpor ke kota lain. Ini karena metode pengajarannya cukup complicated, dan sangat penuh seni tuk menjalankannya. Tak mudah pula bagi kami mentransfer skill dan kepercayaan diri orang lain tuk memilikinya. Hampir 3 tahun lebih, selain kami, sulit bagi saya untuk mendapatkan instruktur ideal yang sanggup mengemban amanah pengajaran ini. Apalagi beberapa alumni fakultas bahasa Inggris yang malahan mengatakan: kami aja belajar 6 tahun, bagaimana mungkin harus mengajar 6 minggu?
                Sampai kemudian saya mulai jenuh di Pontianak dan mencoba kesegaran lain dengan membuka kelas di pulau Jawa. Saya kontak Ridho untuk merintis ini di kota tempat ia belajar: Malang. Alhamdulillah, Juli 2010 kelas bisa berjalan dan saya siap mengajar di sana plus tentu dengan kehadiran anggota tim instruktur setempat. Salah seorang diantaranya adalah Erik. Beberapa kali tampil mengajar, ternyata kulihat ia sangat talented untuk menjadi instruktur 6 MB dengan visi yang ia miliki dan kriteria yang diharapkan. Walaupun belum berharap banyak, kuyakin Erik adalah aktivis Indonesia Jenius berikutnya. Ia berprinsip, punya komitmen, disiplin, having leadership, dan yang paling penting siap maju-mundur bersama, taking a risk dan menikmati hidupnya.  SBS banget…

Selasa, 04 Oktober 2011

(Jangan) Baca dan Nonton Bola!


oleh Yun Sirno pada 5 oktober 2011


Sebelum menekuni SBS alias Sang Bintang School, saya membuka usaha penyalur majalah. Karena kesukaan saya adalah membaca, apa pun saya baca, termasuk yang berkaitan dengan olahraga. Salah satu yang sering saya nikmati adalah Bola dan Haisoccer. Yaitu tabloid yang khusus mewartakan dunia olahraga, namun lebih banyak ngomongin bola, olahraga yang katanya digemari 1 milyar manusia…
Kini saya tidak lagi berbisnis itu. Namun jika tidak sibuk-sibuk amat, hampir dipastikan saya datangi saudara saya yang kemudian menjadi pengganti saya untuk membacanya setiap hari terbitnya tabloid itu atau pada hari kunjungan saya ke public library, saya sempatkan membacanya. Tapi tahukah Anda bahwa saya membacanya bukan sekedar karena bolanya, tapi karena nilai pelajaran, terutama manajemennya (team work dan manajemen klub). Bagaimana mungkin?

Batistuta Pun Tak Mau Nonton Bola
Dulu saya banyak mikir-mikir kalo mau baca Bola. Ngapain juga olahraga dibaca, olahraga itu untuk dipraktekkan dan dinikmati. Waktu kita teramat mahal untuk hanya membaca ulasan atau analisa pertandingan bola (apalagi menontonnya!). Apalagi saya juga kurang suka dengan kecenderungan banyak orang untuk berjudi bola. Sehingga tak sedikit yang membaca analisa pertandingan karena untuk kepentingan ini.
Tapi saya suka memainkannya sebagai sarana latihan fisik. Saya rutin memainkan sepakbola indoor setiap pekan  rata-rata dua kali. Saya menikmatinya sebagai  olahraga yang menguras keringat dan melatih otot dan otak kita. Karena itu saya setuju banget dengan ucapan bintang bola Argentina, Gabriel Omar Batistuta bahwa ia hanya suka bermain bola, tidak menontonnya. Tapi karena prinsip saya membaca apa saja yang ada di depan mata saya, saya akhirnya baca Bola juga.
Gaya penulisan wartawannya sungguh asyik.  Membaca analisa pra pertandingan (preview) seakan membuat kita bak pelatih kawakan yang penuh strategi. Sebaliknya membaca analisa hasil pertandingan membuat saya seperti menonton langsung pertandingannya. Itu keuntungan bagi penghobi pertandingan bola. Tapi karena saya multiminat, saya menemukan hal-hal exciting lain dalam tulisan-tulisan wartawan Bola.

Diganjar Kemenangan
Saya menemukan fakta bahwa sepakbola bukan sekedar parade adu otot dan kelihaian mengolah si kulit bundar, pertandingan sepakbola adalah adu strategi, dan kecerdikan para pemain dan pelatihnya. Sebagai seorang pelaku dunia usaha, saya juga melihat ada kesamaan antara mengelola tim bola dengan mengelola tim kerja. Kehilangan passion sama dengan kehilangan kesempatan besar untuk menang. Karena tak ada kesuksesan tanpa passion. Inilah yang dilakukan oleh Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, atau sang legenda Zinedine Zidane. Bagi mereka bertanding setiap pekan dalam kompetisi sepakbola yang melelahkan, bukanlah sebuah beban tapi adalah kenikmatan hidup. Dan kesuksesan yang mereka raih juga bukan sesuatu yang gratis. Mereka meraihnya dengan kerja keras dan latihan yang lebih berat dari yang orang biasa lakukan. Maka tak salah jika kita melihat keindahan permainan mereka, kenikmatan, totalitas, dan hasilnya: kemenangan. Ini sama persis dalam dunia kerja atau bisnis.
Sepakbola juga menunjukkan pada kita bahwa tak ada kesuksesan instan. Lihat betapa lamanya Spanyol harus mengikuti Piala Dunia sejak sebelum Perang Dunia, namun mereka baru meraihnya di tahun 2010. Mereka menanti hampir satu abad! Tapi kesabaran mereka telah berbuah sekarang, liga mereka telah menjadi industri yang mampu memberi pekerjaan bagi ribuan orang, hiburan bagi jutaan orang, dan inspirasi. Dan tahukan Anda bahwa Spanyol meraihnya setelah mereka memenuhi syarat-syarat manajemen dan syarat kesuksesan. Maka kita tentu tahu jawabannya mengapa negeri ini belum bisa meraih Piala Dunia.  

Pelajari Guardiola, Messi dan Barcelona!
Pertandingan sepakbola juga parade kelihaian racikan strategi  para pelatihnya. Lihat dan pelajari bagaimana strategi ampuh Joseph Guradiola saat mengelola talenta-talenta Barcelona. Kenapa strategi ampuh? Karena ia mampu membuat sebuah tim yang selama empat  tahun terakhir sungguh sulit dikalahkan. Tim yang sungguh haus gol. Tim yang sungguh kompak. Dan yang menarik, mereka bermain sungguh dengan sangat menikmati, indah dinikmati, dan sangat fantastis. Guardiola yang sebelumnya belum pernah melatih klub menjadi sukses, berhasil membuat Barcelona, satu-satunya tim elit Eropa tidak punya sponsor perusahaan komersial.
Lapangan hijau sepakbola juga menjadi makna penerapan prinsip-prinsip kesuksesan. Lihat prinsip tak kenal menyerah Lionel Messi yang konon di masa kecilnya ditolak masuk klub bola karena punya penyakit dan tubuhnya yang kecil. Kini ia justru menjadi predator yang mengerikan di depan gawang lain. Bola tak boleh berada di kakinya kalau tidak mau tim lawan menangis.  Kita juga harus belajar dua dekade dan menjadi klub paling sukses di daratan Eropa.

Kuncinya: Manajemen No. 1
Sepakbola juga mengajarkan bahwa kesuksesan membutuhkan profesionalitas, disiplin, dan manajemen yang mantap. Tak ada satu pun tim yang sukses kecuali menerapkan kedisiplinan tinggi dalam pengelolaanya. Jadwal kompetisi yang teratur, jadwal latihan yang ketat dan kontinyu dan penerapan sanksi bagi yang melanggar aturan adalah hukum alam kesuksesan yang diterapkan di sepakbola. 
Tapi bakat hebat ala Brasil dan Argentina pun tak cukup mendongkrak prestasi klub-klub negeri itu menjadi terkuat dan sukses secara financial. Namun manajemen yang profesional lah yang mengantarkan klub-klub Eropa menjadi terbaik, dan paling nyaman dinikmati di sela-sela kesibukan kerja kita. Manajemen profesional mereka juga menjadi pelajaran bagi kita bahwa pencapaian yang terbaik butuh manajemen yang terbaik. Jadi jangan hanya nonton 11 orang berebut bola tapi cobalah untuk belajar dari lapangan hijau! Ambil pelajaran dan praktekkan yang terbaik untuk kehidupan terbaik kita@

Kamis, 01 September 2011

Silaturahmi (tidak) Memperluas Rezeki

oleh Yun Sirno pada 31 Agustus 2011 jam 22:05

Umat Islam Indonesia terkenal doyan bersilaturahmi berhari-hari bahkan sering lewat dua minggu. Bahkan ada beberapa daerah di Kalimantan Barat yang lebarannya sebulan penuh (ayo daerah mana tuh?). Mereka bilang, “Kan masih Syawal… “.Tanggal merah hari raya biasanya cuma satu hari.  Tapi khusus hari raya umat Islam tanggal merahnya jadi dua hari. Entah apa sejarahnya. Tapi di lapangan, libur itu sering ditambah lagi bahkan sampai satu minggu. Cukupkah? Sampai di kantor-kantor walaupun sudah dikasih bonus libur beberapa hari, ketika masuk, banyak pegawai yang belum bisa langsung on saat bekerja. Mereka biasanya menggelar halal bihalal lagi secara resmi di kantor. Dan kadang gak cukup juga, mereka sering curi-curi waktu untuk halal bihalal kunjungan ke rumah-rumah lagi …. Mereka bilang, “Kan masih Syawal… “.Walah walah.

Bulan yang ada idul fithri di dalamnya nyaris lekat dengan rendahnya kinerja. Ini biasanya saya rasakan saat tim kantor saya mengunjungi kantor-kantor pemerintah lembaga – lembaga pendidikan atau di bulan Ramadhan. Rencana

6 Tahun Kemudian


oleh Yun Sirno pada 25 Agustus 2011 jam 16:42

Kamis, 25 Agustus yang lalu saya bertemu sahabat lama saya, Eko Novianto (30 tahun) seorang pionir tangguh yang saya kenal. Kami sudah berteman sejak tahun 1999 alias 11 tahun ketika sama-sama duduk di kampus Untan  semester 3, walau berada di kampus yang berbeda. Ia ada di kampus pertanian, saya di ekonomi.
Setelah 4 tahun berjalan persahabatan kami, kami sama-sama merintis sebuah lembaga.  Kenapa tidak sama-sama? Ya, kami memiliki visi yang sama tapi misi yang berbeda. Ia memilih jalur social hospitality atau charity, sedang saya memilih jalur pendidikan. Ia mendirikan lembaga penggalangan dana social yang dinamai TPU (Tabungan Peduli Umat). Ia memilih pekerjaan yang seharusnya dilakukan Negara. Tapi itulah perjuangan yang ia pilih. Saya mencoba menawarkan perubahan dalam dunia pendidikan lewat Sang Bintang School.
Saya masih ingat benar bahwa kami merintis bersama-sama hal yang berbeda.

Rabu, 24 Agustus 2011

4 Level Pembelajaran

oleh Yun Sirno pada 29 Juli 2011 jam 7:12
                “Sudah baca Mylien, belum?”
                “Apa yang dikatakan Hermawan Kertajaya tentang ini?”
                “Google tidak ngomong lagi tentang brand, tapi platform ...”
                Wah senang rasanya mendengar dialog tim manajemen Sang Bintang School (SBS) seperti di atas. Tim manajemen sudah menemukan flow –nya ketika membahas masalah di lapangan. Mereka sudah punya rujukan ketika mentok pada suatu kasus di lapangan. Dan ketika tak ada rujukan, mereka mencoba mengakomodirnya dengan membuat pendekatan dengan teori lain.

Dari BSC sampai Blue Ocean Strategy
                Senang rasanya, mereka sudah menyebut nama guru marketing Asia, Hermawan Kertajaya dalam dialog atau diskusi tentang kasus-kasus di lapangan. Apalagi mereka juga selalu merujuk pada buku yang ia tulis: Marketing 3.0, Grow the Character.
                Senang juga rasanya melihat anggota tim SBS bergantian membaca buku-buku Rhenald Kasali yang memang best seller seperti Recoding Your Change DNA, Powehouse, sampai Cracking Zone. Mereka juga mulai merasa penting dan bergairah ketika membaca majalah Swa, Marketing atau tabloid Kontan. Situs-situsnya pun mulai disambangi.
                Memang saat dites, kebanyakan mereka belum terlalu memahami teori-teori manajemen mutakhir seperti BSC (Balanced Scorecard), Six Sigma, TQM, atau Blue Ocean Strategy. Tapi antusiasme yang mulai tumbuh adalah tanda bahwa waktunya sudah dekat. Diskusi-diskusi kami jadi sangat berisi. Solusi-solusi yang lahir menjadi sangat global, dan ide-ide yang keluar pun sudah didukung  teori-teorinya.

Rakernas -Pusdiklat Nasional 2 dan 2 Seminar Akbar

Go Cirebon!!! Undangan untuk Tim Sukses Indonesia Jenius: Rakernas -Pusdiklat Nasional 2 dan 2 Seminar Akbar

oleh Yun Sirno pada 15 Juli 2011

Sesunguhnya pekerjaan tak akan pernah selesai. Pacuan untuk mempersembahkan yang terbaik untukNya membuat kita harus selalu bergerak, duduk berpikir, memperbaiki dan begitu seterusnya sampai hasil terbaik kita capai.

Rapat Kerja Nasional
Indonesia Jenius bukan visi main-main. Namun sebuah kerja besar yang memerlukan strategi jitu, diskusi mendalam serta analisa yang ilmiah. Dan kesemua itu akan dijabarkan dalam blue print besar. Oleh karena itu dalam rangka memantapkan kerja menuju Indonesia Jenius 2018, Sang Bintang School mengundang seluruh anggota tim nasional untuk mengikuti Rapat Kerja Nasional tanggal 17 – 19 Juli 2011 dengan tema Transformasi Manajemen Kinerja. Selain evaluasi pelaksanaan pengelolaan selama Januari- Juni 2011, Rapat Kerja juga mengagendakan rancangan kerja paska Syawal dan 2012.

Pusdiklat untuk Manajer Baru
Sementara itu, Rakernas ini juga disusul dengan Pusdiklat Nasional 2 untuk cabang. Namun untuk menjaga kemantapan hasil, Pusdiklat ini hanya diikuti para manajer. Manajer yang mengikuti adalah manajer cabang yang sudah pernah mengadakana program 6 Minggu Bisa! di daerahnya, namun belum mengikuti Pusdiklat pertama di Tasikmalaya, Januari 2011.

Minggu, 17 Juli 2011

Kartini, Dedication to Education

A Tribute to Educational Figure
Kartini was born into an aristocratic Javanese family in a time when Java was still part of the Dutch
colony, the Dutch East Indies. Kartini's father, Raden Mas Sosroningrat, became Regency Chief of Jepara, and her mother was Raden Mas' first wife, but not the most important one. At this time, polygamy was a common practice among the nobility.She also wrote the Letters of a Javanese Princess.

Kartini loved her father deeply although it is clear that her deep affection for him became yet another obstacle to the realisation of her ambitions. He was sufficiently progressive to allow his daughters schooling until the age of 12 but at that point the door to further schooling was firmly closed. In his letters, her father also expressed his affection for Kartini. Eventually, he gave permission for Kartini to study to become a teacher in Batavia (now Jakarta), although previously he had prevented her from continuing her studies in the Netherlands or entering medical school in Batavia.

Kartini's desire to continue her studies in Europe was also expressed in her letters. Several of her pen friends worked on her behalf to support Kartini in this endeavour. And when finally Kartini's ambition was thwarted, many of her friends expressed their disappointment. In the end her plans to study in the Netherlands were transmuted into plans to journey to Batavia on the advice of Mrs. Abendanon that this would be best for Kartini and her younger sister, Rukmini.

Nevertheless, in 1903 at the age of 24, her plans to study to become a teacher in Batavia came to nothing. In a letter to Mrs. Abendanon, Kartini wrote that the plan had been abandoned because she was going to be married... "In short, I no longer desire to take advantage of this opportunity, because I am to be married..". This was despite the fact that for its part, the Dutch Education Department had finally given permission for Kartini and Rukmini to study in Batavia.

As the wedding approached, Kartini's attitude towards Javanese traditional customs began to change. She became more tolerant. She began to feel that her marriage would bring good fortune for her ambition to develop a school for native women. In her letters, Kartini mentioned that not only did her esteemed husband support her desire to develop the woodcarving industry in Jepara and the school for native women, but she also mentioned that she was going to write a book. Sadly, this ambition was unrealised as a result of her premature death in 1904 at the age of 25.

QUOTES ON MOTHER
A mother is a person who seeing there are only four pieces of pie for five people, promptly announces she never did care for pie.  ~Tenneva Jordan

Being a full-time mother is one of the highest salaried jobs in my field, since the payment is pure love.  ~Mildred B. Vermont

The moment a child is born, the mother is also born.  She never existed before.  The woman existed, but the mother, never.  A mother is something absolutely new.  ~Rajneesh