Selasa, 14 September 2010

Budaya Pendidikan


Budaya Pendidikan

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang diatulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan sayamencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk,logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya karanganitulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk,malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikanmemerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, sayakhawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerimasaya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?" "Dari Indonesia ," jawab saya. Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun melanjutkanargumentasinya.

"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris,saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karanganberbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurutukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para pengujiyang siap menerkam.

Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinyadengan mudah. Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalanbegitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buatdan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuhpuja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan"mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedapseakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf,menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.

Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh didepan," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan raporanak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornyatidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yangberarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamatayang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan danrasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejutaancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, danpenghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, danseterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...;Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di ataskertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebihdisiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif danmengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkanotak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atausebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman ataudukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengandemikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancamanatau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina ataumemberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)

RHENALD KASALI

Ketua Program MM UI

Tidak ada komentar: